Abandoned; 1 of 3
Jauh di utara adalah rumahku, Niflheim, sebuah benua yang tidak pernah melihat mentari dan hanya ditiup oleh badai salju selama berhari-hari. Walau begitu, ini adalah rumah kami, tanah kelahiran leluhur kami dan kita tidak akan meninggalkannya apapun yang akan terjadi, namun ada satu hal yang mulai membuat hati baja kami resah. Bagaikan topan yang menerpa segalanya tanpa adanya sebuah peringatan, begitu pula sebuah berita yang mengejutkan terjadi pada hari itu. Raja kami, Heridith, telah mengasingkan salah satu dari satuan elite kerajaan kami, Vaetta. Nama dia adalah Joruska, seorang ksatria wanita yang lihai dengan busur dan panahnya, serta yang pertama menjadi Vaetta di kerajaan kami, dengan gelar khusus kepadanya Fyrstr Vaetta. Entah apa yang telah merasuki diri raja tercinta kami hingga melakukan sebuah pilihan yang terbilang sangat beresiko bagi keamanan kerajaan dan desa kami, terutama mengetahui bahwa Niflheim dipenuhi oleh berbagai makhluk buas yang bisa menyerang kapan saja...
Tiga tahun telah berlalu
sejak kejadian itu, dan keadaan kami mulai menjadi suram dan penuh ketakutan.
Tidak ada satu pun unit Vaetta yang datang berpatroli sejak hari
terusirnya Joruska dari kerajaan. Namun begitu, kami tetap berpegang teguh pada
raja kami dan yakin ia akan mendengar suara dari rakyatnya yang tertinggal ini
untuk membawa sang Fyrstr Vaetta kembali. Namaku adalah Yolva, kadang
orang sekitar memanggilku ‘Yuv’ sebagai panggilan pendek. Aku hanyalah seorang
pemuda yang ingin membantu keluarga, dan orang sekitarku untuk menjalani
tradisi serta kehidupan sederhana kami di desa Ymir, salah satu dari
banyaknya desa yang tersebar di seluruh penjuru benua ini. Seperti hari biasa,
aku membantu para warga untuk mengangkut barang-barang menuju kereta kuda untuk
dikirim sebagai sumber penghasilan kami.
Di tengah perjalananku,
sebuah tepukan pada bahu yang tiba-tiba mendarat begitu saja mengagetkanku dan hampir
membuatku menjatuhkan seluruh kotak barang ini ke salju. Aku hanya melihat ke
arah asal datangnya tepukan tersebut, dan melihat Goru yang tertawa sendiri
melihat reaksiku. Ia adalah teman sepermainanku sejak kecil, namun ia tidaklah
berasal dari desa ini, ia adalah salah satu dari pengungsi yang datang ke Ymir
saat seekor makhluk buas besar datang dan menyerang rumah mereka.
“Hahah, kau kena lagi,
Yuv!” Ledek Goru yang menjulurkan lidah sambil mengibaskan tangannya kepadaku.
“Haha, lucu sekali, Go,
tapi aku sedang sibuk! Tidak bisakah kau lihat aku sedang membawa barang-barang
ini untuk pengiriman.” Ujarku kepadanya sambil mengangkat bahuku sedikit untuk
menunjukkan tumpukan kotak yang kubawa kepadanya.
“Ayolah, Yuv, sesekali
bermainlah dan beristirahat dari pekerjaan ini! Para warga bisa mengurus diri
mereka dengan baik, benar kan bibi?” Goru menoleh kearah bibi Husupov yang
hanya bisa tersenyum melihat gelagat Goru dan mengangguk. “Lihat?”
“Haah, Go, aku tau kau
ingin sekali bermain, tapi tolonglah untuk menunggu lagi sebentar, ya? Aku
janji, kita akan bermain dengan bola mentari yang kau tunjukkan padaku.” Aku
menunggu jawaban darinya sejenak yang berakhir dengan sebuah senyuman polos dan
anggukan kepala darinya.
“Baiklah, Yuv! Janji ya~”
Goru perlahan berjalan menjauh dariku sembari mengucapkan kalimat tadi, yang
hanya kujawab dengan tawa kecil dan sebuah anggukan. Setelah memastikan dirinya
pergi, aku pun kembali melanjutkan perjalanan mengantar barang ini menuju
kereta kuda. Menembus badai dan melalui hutan yang memakan waktu yang cukup
lama, akhirnya aku sampai dan segera memberikan semua kotakku kepada para
petugas kereta.
“Hei nak, jika kau ingin
kembali ke desa, kusarankan kau mengambil jalur terbuka di barat untuk ke desa
daripada kembali berjalan melalui hutan. Akhir-akhir ini ada makhluk buas yang
hanya keluar di hari gelap di tengah hutan Ymir, dan sudah ada beberapa
yang terluka bahkan...tewas, oleh makhluk tersebut.” Aku sejenak mendengarkan
ucapan dari petugas kereta tersebut dan menoleh kebelakangku, kearah hutan
bersalju yang sunyi dan sepi ditengah hari yang mulai perlahan gelap. Aku hanya
mengangguk pelan sebagai jawabanku kepada petugas sebelum akhirnya melanjutkan
langkah kakiku untuk kembali ke desa. Sesuai dengan arahan yang diberikan tadi,
aku menyusuri daerah barat hutan yang hanyalah hamparan luas daerah terbuka dipenuhi
selimut salju tebal.
“Ugh, salju
disini...lebih...tebal, dari yang kukira-“ Gerutuku ditengah perjalanan melelahkan
ini. Sepatuku selalu tersangkut berkali-kali yang membuatku harus berjalan
mundur untuk mengambil dan memakainya kembali. Langit sudah mulai gelap dengan
hanya bintang-bintang dan bulan menyinari jalanku, dari kejauhan aku bisa melihat
bayang-bayang desa dengan cahaya hangatnya yang selalu menerangi malam yang
dingin. Semakin dekat dan dekat, semakin jelas terlihat pula perbatasan desa
yang selalu menyambut hangat orang-orangnya. “Ah, hei! Aku pu-“
Ketakutan seketika
menyelimuti diriku. Tubuhku bergetar dan nafasku tidak terkendali. Kakiku yang
tiba-tiba lemas jatuh berlutut melihat apa yang telah terjadi kepada desaku. “A-apa
yang...” Tanpa kusadari sebuah air mata mulai keluar dan perlahan turun dari
pipiku menuju salju. Hari itu, Ymir yang kuingat sebagai sebuah desa
penuh dengan kehangatan dan ketenteraman...hanyalah sebuah kenangan. Salju yang
putih kini ditutupi oleh abu, reruntuhan, dan darah. Banyak tangisan terdengar
dari mereka yang telah kehilangan segalanya. Tanpa berpikir panjang aku
berusaha kembali berdiri, berlari melewati puing-puing bangunan, berharap bahwa
ia akan baik-baik saja. “Goru, Goru!” Teriakku memanggilnya, berharap ia akan
menjawab kembali.
Aku secara tidak sengaja
menabrak Bibi Husupov hingga aku terjatuh, ia nampaknya juga khawatir terhadap
keadaanku, memperhatikan dan memeriksa sekujur tubuhku. “Oh, Yuv, syukurlah kau
baik-baik saja, nak...” Kami saling berpelukan sejenak, aku tidak tahan. Air
mata mulai berjatuhan dan membasahi pipiku. Bibi Husupov mengelus kepalaku
perlahan, berharap untuk menenangkan diriku.
“Aku takut, bibi, aku
takut...” Ia terus mengelus kepalaku sebelum perlahan mengusap air mataku dari
pipi dan mataku yang basah.
“Dengarkan bibi, semua
akan baik-baik saja, ya? Goru sudah menunggu di kamp pengungsian, cepat temui
dia. Bibi masih harus membantu yang lainnya untuk menuju ke kamp.”
Goru...syukurlah, dia
selamat. Aku segera melepas Bibi Husupov dari pelukanku dan segera pergi menuju
sebuah tenda yang didirikan tidak jauh dari desa kami. Aku pun perlahan masuk
dan melihat banyaknya orang yang terluka, tidak sedikit pula yang harus terkena
kecacatan akibat insiden ini. Perlahan aku melihat-lihat sekitar untuk mencari
Goru, namun aku tidak melihat secuilpun dari rambutnya terlihat. Hatiku mulai
merasa tidak nyaman kembali dan berdebar kencang, hingga akhirnya...
“Yuv!” Suara yang selalu
kukenali kemanapun aku pergi memanggilku dari arah kerumunan. Dengan sigap aku
masuk lebih dalam ke kerumunan dan melihat dia, masih baik-baik saja dengan
sedikit memar di wajahnya. “Y-Yuv!” Teriaknya kembali memanggilku, melambaikan
tangannya dengan senyum lebar diwajahnya.
“Goru! Dasar kau,
membuatku khawatir sekali...” Kami berpelukan sejenak dan kemudian duduk di
sisi satu sama lain, memperhatikan orang-orang berlalu lalang dihadapan kami.
“Go, apa yang sebenarnya terjadi? Aku hanya pergi untuk beberapa jam dan desa
kita sudah...hilang.” Tanyaku kepadanya masih dalam ketidakpercayaan bahwa
rumah tercintaku sekarang hanyalah puing.
“Aku...tidak tau
bagaimana cara menjelaskannya, tapi kau harus percaya ucapanku, Yuv!” Ia
memegang kedua tanganku dalam genggamannya untuk meyakinkanku. “Para Vaetta.
Mereka...secara tiba-tiba menyerang kami. Pada awalnya kami mengira mereka
datang untuk membantu, namun...”
“...Tidak. Tidak mungkin,
mereka adalah para ksatria penjaga tanah Niflheim! Bagaimana kau yakin
kalau mereka yang menye-“ Seketika aku terbungkam saat Goru melepaskan
genggamannya dari tanganku, dan diatas telapak tanganku adalah emblem suci
milik para Vaetta, sebuah ukiran burung hantu yang perkasa.
“Aku tau kau akan
mengatakan itu, jadi aku nekat menyerang balik salah satu dari mereka dan
merobek emblemnya sebagai bukti.” Untuk sejenak Goru menjeda perkataannya dan
memperhatikan diriku yang nampak masih shock saat itu. “Aku tau, cita-citamu
satu saat adalah untuk pergi ke ibu kota dan menjadi anggota Vaetta,
tapi tidak berarti ini akan menghentikanmu, kan Yuv? Pasti ada alasan mereka
melakukan ini.”
Aku menatap kehadapan
Goru yang memberikan ekspresi memohon kepadaku, dan aku hanya menghela nafasku
dan menerima kenyataan. “M-mungkin kau ada benarnya, Goru. Tapi, jika kita
ingin tau apa alasan mereka, kita harus pergi ke ibu kota. Ke kastil Hvelgermir.”
“Apa kau gila? Para Vaetta
tersebut sedang dibawah pengaruh jahat, mereka akan membunuh kita jika kita
mendekati bahkan satu ubin jembatan mereka!” Goru terlihat khawatir dan panik
dengan ucapanku tadi, tapi pilihan apalagi yang kita miliki? Aku harus mencari
jawabannya.
Lolongan serigala terdengar
dari kejauhan, menandakan telah tiba waktu tengah malam, dan dengan segera aku
ditemani oleh Goru mengambil salah satu kereta seluncur serigala dan dengan
cepat berpacu menuju ibukota. Badai salju malam ini bertiup sangat kencang
semakin kami mendekati daerah ibukota yang menggantung disisi sebuah gunung. Perlahan,
dari kejauhan aku bisa melihat bayang-bayang dari dinding megah kastil, masih lekat
dengan warna gelap dan api biru menyalanya yang selalu berkobar bahkan ditengah
dinginnya malam. Namun, setelah semua ini, kita mungkin tidak akan melihat
kastil ini sama seperti terdahulu, sebuah simbol harapan bagi kami yang selalu
dihantui oleh bahaya dunia luar...
“Baiklah, kita sudah
sampai. Ayo, Go.” Aku pun mengikatkan tali kereta ke sebuah batu untuk
memastikan agar para serigala tidak akan melarikan diri selagi kami pergi.
Setelah aku turun dari kereta, aku melihat kembali ke belakang dan melihat Goru
masih terduduk diatas kereta seluncur. Aku hanya menghela nafas dan berjalan
kembali kearahnya.
Saat aku mendekatinya,
ekspresi wajahnya hanya tersenyum ragu, dan menggaruk bagian belakang lehernya.
“Eheh, uh, a-aku lebih baik diam diatas kereta saja...” Ia perlahan mengalihkan
pandangannya dariku, dan senyumnya pudar dalam sekejap. Aku tidak punya pilihan
selain harus menariknya dan memegang tangannya, sebagai tanda bahwa aku akan
menjaga dirinya tetap aman.
“Kau...kita, akan
baik-baik saja. Percayalah padaku, ini pasti akan berhasil.” Ujarku
meyakinkannya, dan ia pun mengangguk. Berpegang tangan dan berdiri disisi satu
sama lain, kami mulai melangkah menuju gerbang ibukota yang dipenuhi dengan
ukiran indah nan megah. Namun, seiring kami mendekati gerbang kastil, terlihat
dimataku bahwa tempat ini juga...sepi? Bahkan tidak ada satupun bunyi dari para
burung hantu kerajaan yang sering berlalu lalang.
“Uh, Yuv, dimana para Vaetta?
Mereka tidak pernah meninggalkan gerbang ini begitu saja. Apa kau pikir
mereka...pergi?” Goru hanya melihat kehadapanku dengan ekspresi penuh kecemasan
dan rasa panik yang berlebih. Mungkin ia ada benarnya, tapi aku berharap itu
bukanlah apa yang terjadi pada mereka.
“Tentu saja tidak, mereka
pasti ada didalam sana, aku yakin.” Perlahan aku menggenggam gagang besar
gerbang dan mengetukkannya ke permukaan gerbang sekencang yang kubisa, berharap
ada yang akan mendengarnya. Untuk beberapa saat, kami tidak mendapat jawaban
apapun, gerbang tersebut tetap terkunci rapat. “Halo! Jika ada yang mendengar
kami, tolong keluarlah! Kami harus bertemu raja Heridith!” Tepat setelah aku
meneriakkan kata-kata tersebut, sebuah langkah kaki terdengar namun tidak
mengarah ke gerbang, tapi...keatasnya?
“...Dan siapa gerangan
yang berani memanggil sang raja dengan begitu tidak sopannya? Apakah kau tidak
pernah diajarkan tata krama sama sekali, anak muda?” Seorang pria dengan
pakaian dihiasi bulu merak putih dan berambut putih keabu-abuan muncul dan
berkata demikian. Aku...sama sekali tidak mengenali orang ini dimanapun, apakah
ia pelayan istana baru?
“Yuv, siapa si bulu
burung ini?” Aku hanya menggelengkan kepalaku sebagai jawaban terhadap
pertanyaan Goru. Orang ini sangat asing, apa mungkin dia seorang penyusup?
Tidak, dia punya lambang kerajaan di pakaiannya, seorang anggota resmi keluarga
kerajaan. Perasaanku berkata buruk tentang orang ini...
“Kami disini ingin
bertemu Yang Mulia Heridith. Nampaknya desa kami diserang oleh...para Vaetta,
dan kami disini ingin memastikan apakah ini hanyalah kesalahpahaman belaka.”
Aku menunjukkan orang tersebut emblem burung hantu para Vaetta yang tadi
Goru berikan padaku dan nampaknya ia hanya...tersenyum?
“Ah, sayang sekali, aku
turut berduka atas kehilangan kalian, tapi sayangnya sebuah emblem tiruan saja
tidak cukup untuk sebuah bukti bahwa para Vaetta telah melakukan
kejahatan demikian. Lagi pula, yang mulia sendiri sedang sibuk dengan tugasnya
dalam melindungi ibu kota, kecuali kalian bisa kembali dengan bukti yang lebih
kuat, maka mungkin aku akan membiarkan kalian berbicara dengan yang mulia.” Ia
pun pergi begitu saja meninggalkan kami setelah mengucapkan pernyataannya,
seakan kami hanyalah seonggok pasir baginya.
“Hei, kembali! Aku belum
selesai denganmu!!” Emosi telah lebih dulu melahapku, aku dengan geramnya
mendobrakkan tanganku berkali-kali ke gerbang, tidak peduli rasa sakit yang kurasakan
karena memukul permukaannya yang keras. Namun perlahan aku mulai berhenti dan bersandar
pada gerbang, menerima kenyataan bahwa raja kami sudah...mengabaikan,
rakyatnya. “Sudah berakhir, sekarang kita tidak lebih dari sebuah perisai hidup
bagi raja untuk menghadang para makhluk buas diluar sana..” Ujarku sambil
berusaha menahan tangisan, mengalihkan pandanganku dari Goru yang khawatir
terhadapku.
“Kau setidaknya berusaha,
Yuv, dan itu sudahlah bagus! Lebih baik kita kembali segera, matahari akan
segera terbit kembali.” Ia perlahan membantuku berdiri dan kami berdua berjalan
pergi dengan rasa penuh kekecewaan dan putus asa. Mendekati kereta salju, kami mendapati
seseorang berkerudung berada didekat para serigala, namun nampaknya ia hanya
memberi makan mereka. Kami segera menghampiri orang tersebut dan kereta kami,
untuk memastikan hal tersebut.
Orang tersebut segera
berbalik dan menatap kami dengan senyuman ramahnya. “Ah, apa kalian yang
memiliki para serigala ini? Kalian seharusnya memberi makan mereka, kasihan
mereka kelaparan menunggu kalian. Kalian juga mau?” Ia menawarkan kami
segenggam daging rusa masak yang kemudian Goru ambil dan makan perlahan. Ia
membuka kerudungnya dan dibaliknya adalah sebuah cahaya harapan yang selalu
kami nanti, yang banyak orang percaya telah hilang ditelan oleh buasnya hari
malam, namun ia nyata, dan berdiri dihapanku saat ini. Dalam
ketidakpercayaanku, aku memanggil namanya...
“...Joruska?”


No comments
Bad Comment Will Be Forgiven