Drowned; 2 of 3
Niflheim...tidak
pernah kulihat tempat lain yang dipenuhi perjuangan lebih keras daripada sebuah
tempaan palu pandai besi dan tangguh bagaikan gunung yang tak tergerakkan
bahkan oleh waktu sekalipun. Aku ingat hari itu, ketika raja kami, Heridith
dengan berani dan perkasanya memimpin kami menembus amukan badai salju. Aku
juga ingat, hari ketika Yang Mulia Heridith dengan luar biasanya membelah seekor
naga menjadi dua, dimana kedua tubuhnya menyusut menjadi ular hitam dan putih. Dengan
tekad berkobar lebih panas dari cahaya sang surya sendiri, kami membangun ibu
kota diatas tanah yang dulunya adalah liang seekor naga. Tahun demi tahun
berlalu, dan dengan penuh latihan serta dorongan dari orang tercinta
disekitarku, aku dipilih menjadi unit elit pertama penjaga Niflheim yang
siap berkorban nyawa demi sang raja dan rakyatnya, Vaetta.
Namaku adalah Joruska,
sang Fyrstr Vaetta, sudah tiga tahun berlalu sejak aku diasingkan oleh
rajaku sendiri akibat tuduhan palsu dari orang baru kerajaan kami, sang Merak
Putih Herja. Pada satu saat ia muncul begitu saja ditengah politik kerajaan dan
sejak ia menduduki posisi sebagai penasihat dan menteri raja, sebuah tali
boneka mulai ditarik oleh tangan-tangan liciknya itu. Aku tau penipu saat aku
melihatnya, dan dia jelaslah seorang penipu berbakat. Hari itu, lonceng
kerajaan berbunyi dan memanggil kami para Vaetta untuk berkumpul
menghadap sang raja.
“Ada apa gerangan Yang
Mulia memanggil kami?” Wajahku seketika pucat ketika melihat Herja untuk
pertama kalinya. Ekspresi penuh dengan kelicikan, darimana dan apa yang
diinginkan orang ini? Aku tetap berusaha menahan posisi tubuhku agar tidak
bergetar dihadapan rajaku.
“Joruska, majulah.” Suara
dari Yang Mulia nampaknya dipenuhi dengan rasa ketidakyakinan dan kecemasan, namun ekspresi wajahnya
menunjukkan keteguhan hatinya untuk mengatakan apapun itu yang membuat dirinya
merasa cemas. “Joruska...kau adalah seorang Vaetta yang jujur, disiplin,
dan penuh dengan semangat perjuangan. Aku sepenuhnya mempercayai bahwa dirimu
tidaklah mungkin akan melakukan sebuah kejahatan bahkan menyakiti seekor
kelinci. Tetapi, kau masihlah muda untuk seorang Vaetta, dengan tekad
yang berkobar namun berpemikiran kurang matang tidak selayaknya para rekanmu.”
“Saya merasa bangga atas
pujian dari Yang Mulia, tapi saya masih tidak mengerti, mengapa saya?” Perlahan
aku memandang kearah mata Yang Mulia Heridith. Mata ungunya yang bersinar ditengah
kegelapan beralih menghadap Herja dan membisikkan sesuatu kepadanya. Setelah
selesai, Herja mengangguk dan perlahan berjalan kedepan Yang Mulia dan
membelakanginya...dengan tidak sopan. Dasar bulu burung tidak tau diri, berani
sekali mengotori kehormatan Yang Mulia seperti itu.
“Atas perintah Yang Mulia
sendiri, dengan ini Joruska, Fyrstr Vaetta, akan diasingkan dari ibu
kota menuju hutan dalam waktu yang tidak menentu untuk membuktikan bahwa
dirinya memanglah pantas memegang gelarnya, hingga panggilan dari Yang Mulia
datang untukmu kembali.” Seluruh ruangan seketika diisi oleh suara riuh para
rekanku yang tidak percaya atas pilihan Yang Mulia, namun aku dengan cepat
menenangkan mereka, mengangkat tanganku yang dikepal ke udara. Aku pun memandang
Herja dengan penuh amarah, senyuman itu...dia mempengaruhi Yang Mulia untuk
mengusirku dari kerajaan ini...
“....Jika ini benar
kehendak dari Yang Mulia, maka akanku jalankan dengan sepenuh hati.” Aku
kembali menundukkan kepalaku kehadapan Yang Mulia. Ia pun berdiri dan berjalan
dari tahtanya menuju diriku, menepuk pundakku setelah melewatiku. Rekanku yang
lain hanya bisa berjalan keluar dari ruangan dengan tatapan penuh kesedihan.
Setelah semua orang
pergi, Herja menghampiriku dan menunduk, membisikkan kata-kata yang tidak
pernah akan kulupakan. “Kau tau terlalu banyak, tidakkah begitu? Aku tidak akan
membiarkan orang seperti dirimu mengacaukan rencanaku untuk mengambil alih
kekuatan kerajaan ini untuk diriku sendiri. Dan jika kau pikir kau bisa kembali
kemari hanya untuk menghunuskan panah tumpulmu itu, bermimpilah.”
Setelah ia berjalan
melewatiku, aku berdiri dan menatap tajam Herja yang berjalan keluar dengan
anggunnya. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan amarahku, mengepalkan tinjuku sambil
menggerutu. Aku pun berjalan pergi mengambil busur, panah dan perbekalanku
untuk bersiap pergi menuju pengasingan. “Lihat saja nanti, saat aku kembali,
aku bersumpah atas nama Yang Mulia Heridith dan naga tanah kelahiran kami, akan
kusematkan seratus panah ke wajah busukmu, bulu burung.”
Dan begitulah, bagaimana
aku bisa diasingkan keluar dari kerajaan, hingga saat ini. Aku dengar berita
ini tersebar ke seluruh penjuru desa di Niflheim, para penduduk mulai
diselimuti ketakutan. Walau dalam pengasingan, aku tetap harus melakukan
tugasku sebagai Vaetta dan melindungi mereka semua dari ancaman bahaya
makhluk buas. “Hah...panahku sudah mulai habis lagi, lebih baik aku segera
mencari kayu lagi untuk membuat yang baru.” Ujar diriku selagi aku berkeliling
melalui pepohonan pinus bersalju dan tetap bersiaga terhadap bahaya.
Dengan jelas aku
mendengar suara langkah kaki dan kerumunan dari kejauhan, perlahan aku berjalan
kearah asal datangnya suara dan melihat barisan orang membawa kotak-kotak
berisi sumber daya untuk dijual ke ibu kota. “Para penduduk ini...mereka datang
dari Ymir, ya? Pakaian mereka terlihat mencolok ditengah cuaca seperti
ini, lebih baik aku mengikuti alur barisan ini.” Dengan segera aku menarik
keluar busurku dan mengikuti mereka dari kejauhan, bergelantungan diatas pepohonan
pinus layaknya seekor primata.
Untuk selang waktu yang
cukup lama, tidak ada bahaya terlihat dimanapun, namum hari semakin gelap, dan
mengetahui bagaimana para makhluk buas suka berburu dibawah kegelapan malam, aku
segera memutar otak untuk memastikan tidak ada satupun dari mereka datang.
“Bagaimana ya...?” Tiba-tiba dari belakangku datang seekor singa salju yang berusaha
menerkamku, namun dengan segera kuelak dan membungkamnya menggunakan anak
panahku. Sang singa terkulai lemas dan akhirnya mati, darahnya menodai salju
yang putih menjadi merah.
“Syukurlah tidak ada yang
mendengarnya...” Aku kemudian mengintip dari balik pepohonan dan melihat bahwa
barisan sudah mulai semakin sedikit. Namun, nampaknya aku terlalu cepat merasa
lega, karena salah satu dari mereka nampak panik dan meneriakkan hal yang
sangat sulit untuk kupercaya.
“Cepat! Para Vaetta!
Mereka...mereka menyerang desa!”
“Apa?!” Hatiku seketika
terenyuh, bagaimana bisa ini terjadi? Setelah semua yang kita lalui dalam
menjaga rumah kita dari bahaya, bagaimana bisa kau menghianati kepercayaan raja
kita begitu saja? Emosiku tercampur aduk antara sedih, amarah, dan kebingungan.
Kakiku lemas dan tubuhku perlahan terhuyung, semua ini terasa terlalu cepat
untuk terjadi, tapi aku kurasa aku harus menerima kenyataan ini. Aku segera
menggelengkan kepalaku dan menampar diriku sendiri agar sadar dari rasa
bersalahku, dan segera menyusul untuk melihat keadaan.
Melompati satu pohon ke
yang lainnya, aku menyadari ada yang juga mengikuti diriku menuju desa,
segerombolan serigala buas yang kelaparan. “Tidak dalam pengawasanku.” Dengan
segera aku melompat dan menghadang mereka, mengarahkan anak panahku kearah
mereka semua sebagai bentuk ancaman. Mereka perlahan maju kearahku, nampaknya
mereka tidak takut padaku karena aku jelas kalah jumlah dengan mereka. Namun
ketika mereka sangat dekat denganku dan membuatku ingin melepaskan anak panahku
kearah mereka, tiba-tiba mereka semua berlari mundur seakan sesuatu menakuti
mereka.
“Oh, aku tidak percaya
ancaman seperti ini bisa berakhir juga pada akhirnya.” Perlahan aku merasakan
sebuah keberadaan yang lebih besar dari diriku. Aku mempersiapkan panahku untuk
melesat kapanpun kearah apapun makhluk dibelakangku ini. Dengan cepat aku
berbalik dan melesatkan panahku, namun makhluk tersebut menangkisnya dan
menunjukkan dirinya dari kegelapan, seekor beruang besar. “Sial, kenapa harus
sekarang...”
Aku mulai memikirkan cara
untuk setidaknya menghambat si beruang, karena jelas aku tidak akan
membuang-buang panahku ke makhluk yang tau cara menangkis anak panah yang
datang kearahnya. Seketika aku teringat tentang daging rusa yang aku baru saja
dapatkan kemarin, perlahan kuraih tasku dan menarik keluar daging segar yang
dibungkus kain tersebut. “Kau mau ini? Kau mau?” Seketika sang beruang berdiri
dengan ekspresi girang. “Huh, kurasa makanan benar-benar bisa menjawab segala
masalah.” Aku pun langsung melemparkannya ke beruang tersebut dan mengelus
kepalanya sejenak, sebelum akhirnya langsung melanjutkan perjalananku ke Ymir.
Tergesa-gesa aku
menggelantung melalui pepohonan, hingga hampir kehilangan keseimbangan ditengah
perjalanan. Keringat mengucur secara terus menerus dari tubuhku, bahkan
ditengah dinginnya cuaca Niflheim. Kobaran api terang dan teriakan penuh
penderitaan terdengar dari jauh, dan ketika aku tiba, semuanya sudah terlambat.
Ymir telah hancur dan hanya ada diriku untuk disalahkan karena semua
ini... “Tidak, tidak, tidak! Bagaimana bisa...para Vaetta...kalian
adalah penjaga suci tanah kelahiran kita ini! Bagaimana bisa....” Aku hanya
bisa terduduk diam diatas ranting tertinggi pepohonan tersebut, perlahan
menangis dan meratapi nasib tiap orang disana yang telah kehilangan rumahnya.
“...Sudah cukup. Aku akan
kembali kesana dan memperbaiki semua ini, bahkan jika berarti aku harus melawan
rekanku sendiri.” Dengan segera aku mengusap air mataku dan melompat turun dari
pohon, berjalan kembali menuju ibukota. Belum berselang lama, beruang yang tadi
kuberi makan tiba-tiba menghampiriku layaknya seekor anjing dan menjilati
pipiku hingga basah. “Ahah, hei, hei, tenang kawan, kau boleh ikut denganku,
tapi jangan menga-“ Ucapanku terpotong ketika beruang tersebut menyundulku naik
keatas punggungnya.
“Pelan-pelan, kawan!
Woah!” Aku berusaha menunjuk arah untuk si beruang agar kami sampai ke ibukota dengan
cepat. Aku hafal tiap rute tercepat untuk sampai kesana, semua Vaetta
tau mengenai rute-rute ini. Kami pun berpacu masuk ke sebuah gua kecil dibawah
kaki gunung, yang digali oleh para pembangun kerajaan kami agar para Vaetta lebih
mudah dalam mencapai desa-desa yang terpencil di seluruh penjuru Niflheim.
Kami perlahan berhenti
ditengah hutan dekat gerbang kastil, dimana hari sudah mulai gelap. “Baiklah,
diam dulu disini, aku akan kembali.” Aku mengelus kepala beruang tersebut dan
ia pun menuruti ucapanku. Aku pun mengeluarkan anak panahku dan mengikat ujungnya
dengan kain berisi segenggam salju agar tidak melukai mereka. Para Vaetta masihlah
rekanku, dan aku tentu tidak akan melukai mereka.
Aku pun mencari tempat
yang sempurna untuk membidik dan memperhatikan jumlah mereka yang berjaga.
“Tiga...empat. Baiklah, saatnya untuk menaruh kalian ke ranjang tidur kerajaan,
kawan.” Aku pun mulai membidik dan melesatkan anak panah tumpulku satu persatu
kearah mereka, menghantam kepala mereka hingga pingsan. Setelah mereka semua
tidak sadarkan diri, aku pun menyembunyikan tubuh mereka dihutan bersama si
beruang yang kemudian perlahan menghampiri mereka. “Jangan makan mereka.” Si
beruang hanya meraung dengan terpaksa sebagai jawabannya dan kembali duduk
ditempatnya
Bulan pun sudah tiba saat
aku selesai memindahkan semua tubuh tersebut dan ketika aku akan memasuki
kerajaan dengan memanjat, sebuah suara datang dari arah jalur terbuka
pegunungan. Dengan cepat aku mundur dan bersembunyi ditengah semak-semak dan
memperhatikan. Rupanya asal suara tersebut adalah sebuah kereta salju yang
ditarik oleh gerombolan serigala dan dikendarai oleh...dua orang anak muda?
“Apa yang mereka lakukan disini...?”
Aku pun mendekat dan
perlahan memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka mengetukkan gerbang dan tidak
menerima jawaban apapun. “Apa mereka ingin bertemu dengan para Vaetta? Tidak,
tidak mungkin, mereka mungkin saja sudah membenci kami dan-“ Pandanganku
terkunci ke sesosok berpakaian serba putih yang perlahan muncul diatas gerbang
kerajaan.”Kau!” Aku dengan cepat menarik keluar busur dan satu panah terakhirku,
membidikkannya kearah kepala si bulu burung. Namun, tanganku bergetar dan tidak
bisa melepaskan tali busurku. “...Membunuhmu hanya akan membuat diriku seburuk
dirimu. Akan kuhukum kau dengan cara yang rajaku akan setujui.”
Aku pun mulai menarik
keluar kerudungku dan memakainya, perlahan berjalan menuju kereta serigala yang
ditinggal oleh para pemuda tadi. Aku perlahan jongkok dan memberi makan mereka
sisa daging rusa masak terakhirku untuk mereka dan diriku. “Heheh, kalian pasti
sangat lapar. Makanlah yang lahap.” Ujarku selagi mengelusi kepala dan telinga
mereka masing-masing.
Suara langkah kaki
terdengar dari belakangku dan aku pun berbalik melihat kedua pemuda tadi
kembali untuk kereta mereka. “Ah, apa kalian yang memiliki para serigala ini?
Kalian seharusnya memberi makan mereka, kasihan mereka kelaparan menunggu
kalian. Kalian juga mau?” Aku pun menawarkan mereka juga beberapa potong daging
rusa masak dan nampaknya yang lebih muda dengan senang hati menerimanya. Aku
pun perlahan berdiri dan membuka kerudungku dihadapan mereka.
“...Joruska?” Ujar pemuda
yang lebih besar memanggil namaku dengan wajah terkagum. “Sang Fyrstr Vaetta,
berada dihadapanku?! Goru, apa aku sedang bermimpi?” Aku hanya bisa tertawa
melihat reaksi polos pemuda ini melihatku dengan penuh kilau harapan dimata
mereka.
“Aku senyata diri kalian,
jadi tidak perlu bereaksi berlebihan begitu.” Beruang yang menemaniku tadi
tiba-tiba melompat keluar dari semak-semak membawa tubuh semua rekanku yang
tidak sadarkan diri dipunggungnya dan berlari kearahku, memelukku dan
menjatuhkan tubuh mereka. Kedua pemuda tersebut nampaknya ketakutan melihat teman
beruangku, jadi aku perlahan membiarkan mereka mendekatinya untuk menunjukkan
bahwa ia baik. “Tenanglah, ia tidak menggigit, belum...” Kedua pemuda tersebut
pun berhasil mengelus kepala si beruang dan mereka bertiga nampaknya
menikmatinya. “Lihat? Tidak apa-apa kan?”
“Heheh, kau benar,
Joruska. Ah, ya, perkenalkan namaku Yusupov! Tapi orang didesaku lebih sering
memanggilku Yuv!”
“Dan aku Goru! Sebuah
kehormatan bisa bertemu langsung dengan sang Fyrstr Vaetta!”
Aku pun menjabat tangan
mereka berdua secara bersamaan setelah perkenalan tersebut. Mereka punya
semangat yang berkobar dan luar biasa, mereka bisa saja menjadi Vaetta
satu saat. “Kalian tadi ingin menemui Yang Mulia Heridith? Aku bisa membantu
kalian masuk, karena aku sendiri juga perlu urusan dengan seseorang didalam...”
Mereka berdua mengangguk dan aku pun segera merangkul mereka naik keatas
pundakku, berjalan kembali menuju gerbang kerajaan ditemani oleh para serigala
dan seekor beruang.
“Ini akan menjadi luar
biasa!” Teriak Goru.
“Dan kita akan menjadi
bagian dari ceritanya!” Lanjut Yuv.
“Diakhir, seekor burung
kikir terjatuh dari sarangnya...” Aku mengakhiri, melihat kearah gerbang
kerajaan yang semakin dekat. Sudah saatnya...


No comments
Bad Comment Will Be Forgiven